Nama : ARDAVA WAFA FEDLY
Kelas : 1IAO6
NPM : 50419972
SEJARAH ILMU SOSIAL DASAR
- SEJARAH ILMU-ILMU SOSIAL INDONESIA
Dimulai dari sejerah ilmu-ilmu sosial di Indonesia, dari beberapa sumber menjelaskan sesui kajian keilmuannya. Dari kajian para pakar ilmu sosial menjelaskan perkembangan ilmu sosial di Indonesia seperti apa dan bagaimana proses perkembangnnya.
Ciri khas tiga periode adalah absennya “kesadaran politik” dalam ilmu sosial. Sebagai misal, berpikir dalam kerangka budaya dan politik atas kondisi ekonomi, dan sebaliknya melihatnya secara ekonomi atas fenomena budaya dan politik, seakan-akan menapaki jembatan antara ujung “kultural” dan “struktural”. Kesadaran semacam ini langka dijumpai dalam sejarah ilmu sosial kolonial yang justru (dalam kasus Christiaan Snouck Hurgronje, misalnya) memangkas persoalan budaya (agama) dari medan politik dan ekonomi-nya. Bahkan pada periode kolonial, ilmu politik (kewargaan) itu sendiri tidak diajarkan. Kosakata politik menjadi domain otoritas (negara).
Dalam sejarah ilmu sosial Indonesia, menarik untuk melihat karya-karya ilmuwan sosial Indonesia yang berupaya mengkritisi dan memperdebatkan hegemoni Barat dalam bangunan karya-karya ilmiah, agenda dekolonisasi akademis, hingga ikhtiar mengkonstruksi ilmu sosial Indonesia, alih-alih ilmu sosial di tentang Indonesia. Tahapan lebih lanjut proyek epistemologis ilmu sosial adalah membangun ilmu sosial kritis, menonjolkan subyek-subyek yang tercecer, disertai semangat yang senantiasa meragukan ketuntasannya; sebagai konsekuensi ditinggalkannya karakter ilmu sosial sebelumnya yang dibangun dari pertanyaan-pertanyaan relevansi birokratis, bias elit, dan kelas penguasa tersebut.
Pada tahun 1930-an, masalah-masalah kebudayaan dan proposisi-proposisi yang menyertainya, termasuk ontologi ilmu pengetahuan, diperdebatkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, menyusul para ilmuwan lainnya. Secara sederhana dua belah pihak mempolemikkan landasan desain masyarakat dan kebudayaan baru Indonesia yang pilihannya jatuh pada rujukannya untuk “melihat ke Barat” sebagai proses diskontinuitas sejarah, ataukah “melanjutkan ke-Timur-an” masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Kedua pihak membayangkan secara esensialis kedua rujukan tersebut ada dan saling menegasikan kehadirannya dalam sejarah Indonesia di masa lalu dan kontemporer saat itu, dimana fenomena indisch / kreolisme mudah dijumpai.
Tantangan yang dihadapi oleh ilmu sosial khususnya kajian hukum, sejarah, dan antropologi pada periode-periode selanjutnya tidak jauh berbeda: mempertanyakan kecocokan kategori-kategori yang bias Barat di dalam penerapan obyek kajiannya, Indonesia. Konsep-konsep, konstruksi teori, metodologi, telaah empiris, dan nilai acuan yang bias kekuasaan dan Eropasentris itu menafikan konteks dan historisitas keruangan pelaku yang diteliti.
Pada kajian hukum, tentangan justru telah muncul pada awal abad ke-20, oleh ilmuwan Belanda ahli hukum adat, van Vollenhoven. Melalui bukunya yang padat, Rakyat Indonesia dan Tanahnya yang dalam bahasa Belanda-nya ditulis tahun 1919, ia membuka kembali perdebatan tentang konsep teritori negara (prinsip domein verklaring) yang didefiniskan oleh pengetahuan kolonial. Ia menyatakan bahwa prinsip itu merupakan bentuk kekerasan, disebutnya sebagai “setengah abad pelanggaran hak” sebab menafikan hak-hak pribumi atas tanah. Padahal masyarakat pribumi memiliki apa yang disebutnya sebagai “beschikkingsrecht” (hak pertuanan). Hak ini tidak dikenal dan diakui oleh hukum Belanda (Bugerlijk Wetboek). Akibatnya, tanah-tanah yang dikuasai dalam hak tersebut didefinisikan sebagai “tanah liar”, kosong, tidak bertuan, sehingga dimasukkan dalam kategori “milik negara” yang bias diserahkan ke pihak lain. Dalam perspektif antropologi, hal ini merupakan pelanggaran yang serius, dengan apa yang saat ini kita sebut sebagai penafian pandangan emic atas pemilik-pelaku kebudayaan.
Ilmuwan Belanda yang lain, J.C.van Leur, juga mempertanyakan kompatibilitas tidaknya abad ke-18 sebagai kategori periodik yang bisa diterapkan dalam historiografi Indonesia. Abad ini adalah kategori pinjaman Barat dengan disertai aspek-aspeknya yang khas. (Alatas,ibid). untuk membantahnya, ia menyoroti peran masyarakat Indonesia dalam perdagangan maritim Asia Tenggara (van Leur, 1960). Telaah kritisnya mengawali perkembangan historiografi Indonesiasentris yang kemudian didiskusikan secara serius dalam Seminar Sejarah Nasional I, tahun 1957. Seminar ini memunculkan nama Soedjatmoko dan Aloysius Sartono Kartodirdjo yang dinilai berkontribusi memberi dasar (sekaligus kritik) terhadap gagasan Historiografi Indonesiasentris.
Maka empirisme menjadi penting. Empirisme dengan visi emansipatoris yang bersetia pada kenyataan faktual yang dihadapi massa rakyat dan kendala structural yang menyebabkan marjinalitasnya. Dalam studi sosial ekonomi(- politik) perhatian pada isu alat produksi, modal, dan tenaga kerja sangatlah penting. Perhatian ilmu sosial di Indonesia pada rentang periode pasca Perang Dingin yang ditandai dengan naiknya Orde Baru, isu penguasaan alat produksi yang mendasari terbentuknya kelas sosial cenderung dihindari, bahkan diharamkan (Hilmar Farid, 2005).
B Perkembangan Ilmu Sosial
Menurut Wallerstein, perkembangan Ilmu sosial dimulai sejak masa Yunani dan Romawi Kuno, di mana proses institusionalisasi pada Abad 19 terdapat di lima kota besar dan menunjukkan progress yang cukup tinggi, dari lima kota tersebut yakni Inggris, Prancis, Jerman, Italia dan Amerika Serikat. [9]Disiplin Ilmu sosial pertama yang mencapai eksistensi institusional otonom adalah Ilmu sejarah, walaupun banyak sejarawan secara antusias menolak label Ilmu sosial. Ilmu sejarah memang suatu praktik yang sudah berlangsung lama, dan terminologi sejarah juga sangatlah kuno.
Dilanjut Ilmu ekonomi juga baru secara formal disebut sebagai disiplin Ilmu pada abad 19, ketika pemberlakuan teori-teori ekonomi liberal pada abad ke 19, para ekonom beragumentasi bahwa perilaku ekonomi lebih merupakan cermin suatu Psikologi individualistik universal daripada institusi-institusi yang dikonstruksikan secara sosial. Ketika Ilmu ekonomi menjadi sebuah disiplin ilmu yang matang di beberapa perguruan tinggi di Eropa.
Bersamaan dengan itu pada abad ke 19 juga berkembang muncul disiplin ilmu sosiologi. Auguste Comte berkeyakinan bahwa ilmu tersebut harus menjadi “ ratu ilmu-ilmu”, sosiologi merupakan hasil asosiasi-asosiasi reformasi sosial yang agenda utamanya berkaitan dengan berbagai ketidakpuasan yang disebabkan oleh kekacauan populasi kelas pekerja perkotaan yang semakin besar jumlahnya seiring dengan berjalannya Revolusi Industri.[10]
Fase selanjutnya berkembang ilmu politik. Kemunculannya bukan karena subject matter-nya negara kontemporer dan perpolitikannya, juga bukan karena kurang menyetujui analisis nomotetis, tetapi karena resistensi fakultas-fakultas hukum untuk merebut monopoli kekuasaan. Begitulah empat serangkai (Sejarah, ekonomi, sosiologi dan politik) telah berhasil menjadi disiplin-disiplin ilmu sosial di Universitas-universitas di Eropa abad ke 19, Pada akhir abad ke 19 Geografi berhasil merekonstruksikan dirinya sebagai sebuah disiplin ilmu baru, terutama di beberapa Universitas di Jerman.
Psikologi pada mulanya merupakan bagian integral dari filsafat, pada abad 19 psikologi mulai menunjukkan jati dirinya, terutama dengan kepeloporan Saint Agustint, dengan minatnya dalam melakukan intropeksi dan keingintahuannya dan fenomena psikologis. Pada abad 19 terdapat dua teori psikologi yang saling bersaing, yakni Psikologi kemampuan dan Psycology asosiasi yang lahir karena timbulnya penafsiran kemampuan khusus pada otak berbeda-beda. Pada 1879 lahirlah laboratorium Psikologi pertama di Jerman.
Dalam perkembangannya psikologi sering berada pada dua tempat yakni disiplin Ilmu sosial dan ilmu alam. Hal ini bertalian erat dengan kedekatan psikologi dengan arena medis, sehingga banyak psikolog yang menyeberang psikologi dari ilmu sosial ke ilmu biologi/alam. Istilah Psikologi sosial merupakan penguatan bahwa Psikologi masih menempatkan kakinya pada ranah Ilmu sosial.
Berikut tiga fase perkembangan ilmu sosial ;
1. Fase Embrionik
Fase ini sering disebut dengan istilah Indologie atau ilmu sosial kolonial. Hal tersebut dikarenakan, ilmu sosial yang berkembang pada masa tersebut lebih condong untuk kepentingan penjajah terutama untuk membantu pemerintah Hinda Belanda melaksanakan administrasi dan kebijakan pemerintahannya. Keadaan itu makin dipertegas, pada tahun 1842 pemerintah Hinda Belanda menyiapkan secara khusus untuk memperkenalkan Indologie, yakni bagian ilmu oriental yang dikembangkan untuk menyiapkan calon pegawai yang akan bertugas di Hindia Belanda.
Perkembangan indologi di Belanda memang cukup pesat, terbukti pada tahun 1864 telah berdiri di berbagai universitas jurusan ilmu sosial. Bahkan pada tahun 1891 indologi menjadi salah satu jurusan di Universitas Leiden. Pengaruh indologi memang sangat besar di Indonesia pada abad ke 20. Namun, sampai tahun 1950 masih belum signifikan perkembangannya.
Ciri umum perkembangan ilmu sosial di Indonesia pada masa kolonial yaitu sebagai ilmu sosial yang sangat dipengaruhi oleh para ilmuan Belanda, yang memiliki kepentingan kolonial dan para ilmuan tersebut belum memiliki spesifikasi dalam bidang indologi tersebut. Selain itu, ciri umum perkembangan ilmu sosial pada masa kolonial yaitu sangat erat kaitannya dengan upaya untuk memecahkan permasalahan daerah jajahan dan mempertahankan status quo.
2. Perkembangan Ilmu Sosial Developmentalis
Apabila perkembangan ilmu sosial pada masa Indologie lebih berpusat pada Eurosentris maka pada tahun 1950 sampai 1960 an menjadi titik balik perkembangan ilmu sosial di Indonesia dengan lebih berkiblat pada Amerika Serikat. Perang dingin yang terjadi pasca perang dunia II membuat negara-negara adikuasa berupaya untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia, salah satunya melalui ilmu sosial. Tidak mengherankan Amerika Serikat misalnya berusaha menanamkan pengaruhnya melalui ilmu sosial yang sedang berkembang di Indonesia.
Pada masa ini perkembangan ilmu sosial dikatakan sebagai ilmu sosial developmentalis, hal itu dikarenakan idiologi yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial pada masa tersebut yang sangat berhubungan dengan negara-negara yang baru merdeka. Developmentalis bermakna pembangunan yang berarti ilmu sosial menekankan pada penggunaanya sebagai alat bantu untuk pemecahan masalah pembangunan ekonomi di Indonesia. Bung Hatta menjelaskan bahwa pertumbuhan ilmu sosial tidak lepas dari penemuan dan sekaligus masalah sosial yang dihasilkan ilmu-ilmu alam. Dalam kesempatan tersebut Bung Hatta juga menjelaskan bahwa ilmu sosial memiliki tugas istimewa kejurusan pembangunan Negara dan masyarakat.
3. Perkembangan Ilmu Sosial Kontemporer
Pada 1970an hingga 1980an semakin banyak ilmuan dari lulusan ilmu sosial dari berbagai dunia. Lompatan besar ilmuan sosial di Indonesia ini berpengaruh pada perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Secara kuantitas dapat dilihat dengan munculnya berbagai perguruan tinggi yang membuka jurusan atau program studi ilmu sosial. Pada awal 1970an setidaknya terdapat 74 fakultas ilmu sosial dan kebudayaan. Perkembangan jumlah institusi akademik ini tentu sangat berpengaruh terhadap perkembangan penelitian dan penerapan ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Berbagai lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang menjadi pusat pengkajian ilmu sosial mula berkembang dengan mantap pada awal 1970an seperti lembaga pendidikan, penelitian dan pengembangan ekonomi sosial sangat penting peranannya dalam perkembangan ilmu sosial di Indonesia.
D. Kesimpulan
Perkembangan ilmu sosial yang kian pesat menjadikan pengklasifikasian dalam ilmu sosial itu sendiri, mulai dari sejarah, geografi, sosiologi, ilmu hukum dan lain sebagainya. Tujuan dari pengklasifikasian tersebut adalah untuk mempermudah dalam pengamatan dan penelitian mengenai pengimplementasian ilmu sosial dalam permasalahan sosial. Perkembangan ilmu sosial tersebut tidak hanya terjadi pada negara-negara besar dunia, tetapi juga terjadi di Indonesia yang mana banyak dari ilmuan Indonesia yang belajar di berbagai penjuru dunia. Sehingga perkembangan ilmu sosial di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pemikiran ala barat.Perkembangan ilmu sosial di Indonesia sendiri dibagi dalam tiga fase, mulai fase embrionik yaitu pada masa kolonial, lalu fase ilmu sosial developmentalis, dan fase kontemporer.
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar